Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang dimilki oleh umat beragama Islam. Dalam bulan ini pasti semua muslim dan muslimah diseluruh dunia berlomab-lomba dalam beramal dan beribadah. Tidak asing dan juga aneh jika kita mendengar ada yang mengaji di mesjid dengan menggunakan TOA yang menghasilkan suara menggema keseluruh kampung, dan ingat, ini dilakukan di setiap mesjid. Sungguh banyak jenis Ibadah yang bisa dilakukan dalam bulan ini, dan semua ibadah itu akan dilipatgandakan balasan pahala yang diberikan oleh Allah SWT. Ada puasa (yang ini emang wajib), tarawihan, tadarusan, zakat fitrah, qiyamul lail, Dhuha, dan tak ketinggalan ada malam yang namanya malam seribu bulan atau Lailatul Qadar. Berbicara masalah melipat ganda, saya pernah mendengar, jika kita bersedakah dalam bulan Ramadhan, Allah SWT akan membalas dengan ganjaran minimal 70x. mari berhitung, jika kita bersedekah Rp50.000 maka minimal yang akan kita terima Rp3.500.000 (wow, what a great yield).
Sekarang, mari kita merenung dan berpikir tentang siapa yang merenung dan berpikir tentang paragraf diatas. Maksud saya adalah siapa yang benar-benar berlomba-lomba dalam beribadah, yang berharap bahwa semua dosanya dihapuskan. Yang berharap bahwa dia benar-benar bertemu dengan malam Lailatul Qadar ,dan bahkan tidak ada keraguan bahwa dia tidak melewatkan semenitpun untuk tidak menyebut Asma Allah, dan tidak beribadah dimalam itu. Siapa? Ibu-ibu, bapak-bapak, ustadz and ustadzah, para Kiai, para Ulama sekelas teungku. Atau para pemuda-pemudi yang akhir baligh, atau nenek dan kakek yang tinggal menunggu kapan tiba saatnya. Ya, mungkin saja dari mereka menjadi orang-orang yang tergolong dalam orang yang beruntung di Bulan ramadhan. Lalu, dimanakah posisi anak kecil yang masih Ingusan. Yang masih mengunggulkan sifat rebellionnya. Yang katanya jika dia meninggal maka dia otomastis masuk surga karena dia masih tergolong dalam kertas putih yang belum dilumuri tinta dosa kehidupan. Apakah mereka berpikir tentang paragraf diatas. Cerita berikut mungkin bisa sedikit membuktikan bahwa kepolosan anak-anak bisa membuat mereka tidak bepikir akan esensi Ramadhan yang sebenarnya. Cerita yang membuktikan bahwa mereka berpikir jika puasa itu adalah menahan lapar dan haus, baju baru, petasan, jalan-jalan subuh, dan Hari raya idulfitri yang sarat akan “Perang Antar Kampung”. Dan ini lah dunia anak-anak.
Berikut ini adalah cerita masa kecil saya di suatu desa di perbatasan Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat, (it means border between NAD and Sumut as well), yang biasanya dikenal dengan nama Sungai Liput. Pada saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Menjadi anak kecil yang belum mempunyai banyak tanggung jawag adalah salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada umatnya. Begitu juga anak-anak di kampung Sungai Liput maupun daerah lainnya. Bermain dan bermain adalah rutinitas selain makan 3 kali dan shalat 5 kali yang dilakukan dalam sehari. Dan tidak terkecuali di bulan ramadhan. Dan asal tahu saja, pemerintah NAD (selanjutnya saya juga sadar bahwa Padang dan Gorontalo juga menerapkan hal yang sama) menetapkan hari libur full satu bulan untuk satu bulan ramadhan bagi anak-anak sekolah. TK, SD, SMP, dan SMA tanpa terkecuali. Maksud dan tujuannya sih kalau menurut saya agar anak-anak ini bisa lebih khusuk dalam menjalankan ibadah puasanya. Agar para orang tua diberikan waktu lebih dalam mengontrol bagaimana anak-anaknya menjalankan ibadah di bulan ramadhan dengan baik dan tenang.
Tapi, ini lah yang terjadi sebenarnya. Liburan ramadhan menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu oleh semua anak-anak di kampung saya. Bahkan hal ini mengalahkan tanggal 17 agustus, tahun baru, dan bahkan ulang tahun sendiri. Bagaimana tidak, jika ditotalkan liburan bulan ramadhan + liburan Idul fitri + Liburan persiapan sekolah, maka hampir dipastikan liburan 1,5 bulan menghampiri kami. Bahkan dalam 1,5 bulan saja, para tukang bangunan bisa menyelesaikan 1 buah bangunan. Dan bagi kami, anak-anak perbatasan, dalam 1,5 bulan tersebut, kami bisa menyelesaikan gedung kesenangan dan kebahagiaan bertingkat 30 di dalam hati kami. Lalu, bagaimana dengan orang tua yang diberikan tanggung jawab untuk mengontrol anak-anaknya. Hah, kesampingkan saja hal itu, toh dalam pikiran kami, para orang tua akan selalu merasa sukses, senang, dan bahagia jika mengetahui anak-anaknya berpuasa full, mengaji di mesjid, dan selalu berkumpul saat buka puasa maupun sahur.
bersambung ke PART II
bersambung ke PART II
1 komentar:
Posting Komentar